Ketakutan berlebihan terhadap suatu benda disebut fobia. Ketakutan ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari karena penderitanya sebegitu takutnya sampai-sampai menjadi histeris ketika melihat benda yang menjadi objek fobia. Untungnya, sebuah terapi yang berlangsung selama 3 jam dapat menyembuhkan penyakit ini.
Dalam sebuah penelitian yang dimuat jurnal Proceeding of National Academy of Sciences, para peneliti mencoba menyembuhkan fobia terhadap laba-laba.
Fobia laba-laba adalah jenis gangguan kecemasan yang disebut fobia spesifik. Selain laba-laba, jenis fobia spesifik lainnya ada berbagai jenis seperti fobia darah, jarum, ular, tempat tertutup dan lain-lain. Sekitar 9,4 persen dari penduduk AS mengalami fobia spesifik.
"Sebelum terapi, beberapa peserta tidak berani berjalan jika melihat laba-laba atau akan bertahan di luar rumah selama berhari-hari jika merasa masih laba-laba di dalam rumah," kata peneliti, Katherina Hauner dari departemen neurologi Northwestern University Feinberg School of Medicine seperti dilansir FoxNews, Rabu (23/5/2012).
Hauner dan rekannya memeriksa 12 orang dewasa, 9 orang di antaranya adalah perempuan dan sisanya laki-laki dengan usia rata-rata 22 tahun. Kesemua peserta secara diagnostik diketahui memiliki fobia laba-laba. Ketakutan terhadap laba-laba ini begitu besarnya sehingga melihat foto laba-laba saja sudah membuat panik.
Hasil scan otak menunjukkan bahwa otak penderita fobia mengalami peningkatan aktivitas di daerah otak yang merespon rasa takut, yaitu amigdala, insula dan korteks cingulated. Ketika diminta menyentuh tarantula dalam kotak kaca tertutup, peserta begitu takut hingga tidak berani mendekat dalam jarak kurang dari 10 meter.
"Mereka pikir tarantula mampu melompat keluar dari kandang dan menyerangnya. Beberapa orang peserta bahkan berpikir bahwa tarantula mampu merencanakan sesuatu yang jahat untuk menyakiti secara sengaja," kata Hauner.
Dalam terapi yang berlangsung selama 3 jam ini, para peserta diajari tentang tarantula secara umum, apa saja yang membuat orang takut terhadap tarantula dan diberi pemahaman bahwa ketakutan berlebihan terhadap tarantula tidak beralasan. Peserta juga dipandu mendekati tarantula secara bertahap sampai benar-benar bisa memegangnya.
Awalnya, peserta menyentuh tarantula dengan kuas, kemudian sambil mengenakan sarung tangan dan akhirnya memegangnya dengan tangan kosong. Beberapa menit setelah terapi, para peserta diperlihatkan foto laba-laba. Tapi kali ini, scan otak fMRI menunjukkan aktivitas di daerah otak yang memproses rasa takut berkurang drastis.
6 bulan kemudian, para peserta lagi-lagi diminta menyentuh tarantula dalam kaca tertutup. Kesemua peserta langsung berjalan ke arah tarantula dan menyentuhnya.
Menurut Hauner, seseorang bisa dikatakan fobia apabila ketakutan yang dialami sampai mengganggu kehidupannya. Misalnya, orang dengan fobia laba-laba jadi meninggalkan rumah atau kantor selama berhari-hari setelah melihat kehadiran laba-laba di sana, atau menghindari kegiatan di luar ruangan karena takut melihat laba-laba.
Sumber : DetikHealth
Dalam sebuah penelitian yang dimuat jurnal Proceeding of National Academy of Sciences, para peneliti mencoba menyembuhkan fobia terhadap laba-laba.
Fobia laba-laba adalah jenis gangguan kecemasan yang disebut fobia spesifik. Selain laba-laba, jenis fobia spesifik lainnya ada berbagai jenis seperti fobia darah, jarum, ular, tempat tertutup dan lain-lain. Sekitar 9,4 persen dari penduduk AS mengalami fobia spesifik.
"Sebelum terapi, beberapa peserta tidak berani berjalan jika melihat laba-laba atau akan bertahan di luar rumah selama berhari-hari jika merasa masih laba-laba di dalam rumah," kata peneliti, Katherina Hauner dari departemen neurologi Northwestern University Feinberg School of Medicine seperti dilansir FoxNews, Rabu (23/5/2012).
Hauner dan rekannya memeriksa 12 orang dewasa, 9 orang di antaranya adalah perempuan dan sisanya laki-laki dengan usia rata-rata 22 tahun. Kesemua peserta secara diagnostik diketahui memiliki fobia laba-laba. Ketakutan terhadap laba-laba ini begitu besarnya sehingga melihat foto laba-laba saja sudah membuat panik.
Hasil scan otak menunjukkan bahwa otak penderita fobia mengalami peningkatan aktivitas di daerah otak yang merespon rasa takut, yaitu amigdala, insula dan korteks cingulated. Ketika diminta menyentuh tarantula dalam kotak kaca tertutup, peserta begitu takut hingga tidak berani mendekat dalam jarak kurang dari 10 meter.
"Mereka pikir tarantula mampu melompat keluar dari kandang dan menyerangnya. Beberapa orang peserta bahkan berpikir bahwa tarantula mampu merencanakan sesuatu yang jahat untuk menyakiti secara sengaja," kata Hauner.
Dalam terapi yang berlangsung selama 3 jam ini, para peserta diajari tentang tarantula secara umum, apa saja yang membuat orang takut terhadap tarantula dan diberi pemahaman bahwa ketakutan berlebihan terhadap tarantula tidak beralasan. Peserta juga dipandu mendekati tarantula secara bertahap sampai benar-benar bisa memegangnya.
Awalnya, peserta menyentuh tarantula dengan kuas, kemudian sambil mengenakan sarung tangan dan akhirnya memegangnya dengan tangan kosong. Beberapa menit setelah terapi, para peserta diperlihatkan foto laba-laba. Tapi kali ini, scan otak fMRI menunjukkan aktivitas di daerah otak yang memproses rasa takut berkurang drastis.
6 bulan kemudian, para peserta lagi-lagi diminta menyentuh tarantula dalam kaca tertutup. Kesemua peserta langsung berjalan ke arah tarantula dan menyentuhnya.
Menurut Hauner, seseorang bisa dikatakan fobia apabila ketakutan yang dialami sampai mengganggu kehidupannya. Misalnya, orang dengan fobia laba-laba jadi meninggalkan rumah atau kantor selama berhari-hari setelah melihat kehadiran laba-laba di sana, atau menghindari kegiatan di luar ruangan karena takut melihat laba-laba.
Sumber : DetikHealth