Untuk sebagian orang, uang adalah segalanya. Deretan angka yang tercetak di rekening tabungan, tebalnya dompet, adu kemampuan untuk membeli barang termewah atau layanan terekslusif, bisa jadi itu adalah indikator kebahagiaan mereka.
Tapi tidak untuk nenek asal Jerman ini. Selama 16 tahun Heidemarie Schwermer berhasil hidup tanpa uang. Dan ajaibnya, ia justru merasa bahagia.
Schwermer lahir dan tumbuh di Prusia. Ia adalah putri dari seorang pebisnis sukses. Keluarganya bahkan mampu membayar pengasuh anak dan tukang kebun.
Saat Perang Dunia II melanda Eropa tahun 1940-an, Schwermer dan keluarganya mendadak jatuh miskin, tak punya uang sama sekali. Mereka bahkan harus terusir dari rumah yang nyaman, juga dari negerinya sendiri. Keluarga itu akhirnya lari ke Jerman.
Setelah kerja keras selama bertahun-tahun, ayah Schwermer akhirnya bisa mengulangi masa jayanya. Uang kembali datang dari perusahaan rokok yang ia dirikan. Keluarga itu akhirnya kembali merasakan manisnya hidup.
Namun, Schwermer yang sekarang menentang kehidupan masa lalunya yang makmur bergelimang harta. "Kami kaya tapi pada akhirnya tak punya apa-apa," kata dia, seperti dimuat Daily Mail. "Kami menjadi kaya lagi dan mati-matian mempertahankannya. Aku selalu merasa dipaksa untuk menilai, apakah kami kaya atau miskin."
Schwermer, yang kini berusia 69 tahun, awalnya bekerja sebagai guru dan terapis kejiwaan dengan gaji lumayan bagus. Namun, alih-alih bahagia dengan penghasilannya yang banyak, ia merindukan masa-masa kecilnya yang penuh perjuangan.
Akibatnya, ia menjadi terobsesi untuk menemukan cara baru untuk hidup tanpa bergantung pada uang, baik lembaran kertas maupun gemerincing logam. Pada 1994, ia memulainya dengan membentuk kelompok pertukaran. Namanya "Give and Take Central" atau pusat memberi dan menerima.
Tapi tidak untuk nenek asal Jerman ini. Selama 16 tahun Heidemarie Schwermer berhasil hidup tanpa uang. Dan ajaibnya, ia justru merasa bahagia.
Schwermer lahir dan tumbuh di Prusia. Ia adalah putri dari seorang pebisnis sukses. Keluarganya bahkan mampu membayar pengasuh anak dan tukang kebun.
Saat Perang Dunia II melanda Eropa tahun 1940-an, Schwermer dan keluarganya mendadak jatuh miskin, tak punya uang sama sekali. Mereka bahkan harus terusir dari rumah yang nyaman, juga dari negerinya sendiri. Keluarga itu akhirnya lari ke Jerman.
Setelah kerja keras selama bertahun-tahun, ayah Schwermer akhirnya bisa mengulangi masa jayanya. Uang kembali datang dari perusahaan rokok yang ia dirikan. Keluarga itu akhirnya kembali merasakan manisnya hidup.
Namun, Schwermer yang sekarang menentang kehidupan masa lalunya yang makmur bergelimang harta. "Kami kaya tapi pada akhirnya tak punya apa-apa," kata dia, seperti dimuat Daily Mail. "Kami menjadi kaya lagi dan mati-matian mempertahankannya. Aku selalu merasa dipaksa untuk menilai, apakah kami kaya atau miskin."
Schwermer, yang kini berusia 69 tahun, awalnya bekerja sebagai guru dan terapis kejiwaan dengan gaji lumayan bagus. Namun, alih-alih bahagia dengan penghasilannya yang banyak, ia merindukan masa-masa kecilnya yang penuh perjuangan.
Akibatnya, ia menjadi terobsesi untuk menemukan cara baru untuk hidup tanpa bergantung pada uang, baik lembaran kertas maupun gemerincing logam. Pada 1994, ia memulainya dengan membentuk kelompok pertukaran. Namanya "Give and Take Central" atau pusat memberi dan menerima.
Di perkumpulan itu, orang-orang saling menukar layanan sederhana seperti mengasuh bayi atau membersihkan rumah dengan sejumlah barang berujud. Dan Schwermer saat itu menemukan, ia lebih sedikit membutuhkan uang.
Akhirnya, ketika seorang rekan meminta ibu tunggal dengan dua anak itu mengurus rumahnya, Schwermer memutuskan untuk mengambil peluang itu, dan hidup tanpa uang selama setahun penuh.
Ia menjual segala miliknya, termasuk apartemen , menyisakan barang-barang kecil dan benar-benar diperlukan yang ia kemas dalam koper miliknya.
Apa yang sebelumnya ia maksudkan untuk 12 bulan, ternyata bertahan hingga 16 tahun. "Awalnya, aku hanya ingin bereksperimen selama setahun. Tapi aku justru menemukan hidup baru," kata dia. "Dan, aku tak ingin kembali ke kehidupan lamaku."
Awalnya, Schwermer tinggal bersama seorang teman lama. Namun, saat gaya hidupnya menyebar dari mulut ke mulut, ia mulai berceramah soal misinya. Ia laris menjadi pembicara keliling.
Dalam pekerjaan barunya itu, ia hanya menerima tiket kereta api dari para pengundangnya, dan menolak setiap upaya lain untuk membayarnya. "Kebanyakan orang di usiaku memilih untuk duduk manis di kebunnya menikmati masa pensiun," kata dia. "Tapi aku senang jalan-jalan."
Ia juga melakukan pekerjaan di sekitar rumah tempatnya menginap, seperti berkebun, atau melap jendela, untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam dokumenter soal kehidupannya, yang bertajuk "Living Without Money", ia ditampilkan sedang mengumpulkan bahan makanan sisa yang tak terjual di pasar.
Schwermer juga sering menerima pakaian dari teman-temannya, pemberian yang ia sebut sebagai "keajaiban", alih-alih sumbangan. "Aku melihat banyak keajaiban dalam hidupku sehari-hari. Saat aku berpikir soal makanan atau barang lain, tiba-tiba aku menemukannya di jalan atau orang datang dan memberikannya padaku," kata dia.
Ia juga kerap menyumbangkan barang yang tak termuat di tas kecilnya -- yang ia bawa dari rumah ke rumah yang menerimanya menginap.
Akhirnya, ketika seorang rekan meminta ibu tunggal dengan dua anak itu mengurus rumahnya, Schwermer memutuskan untuk mengambil peluang itu, dan hidup tanpa uang selama setahun penuh.
Ia menjual segala miliknya, termasuk apartemen , menyisakan barang-barang kecil dan benar-benar diperlukan yang ia kemas dalam koper miliknya.
Apa yang sebelumnya ia maksudkan untuk 12 bulan, ternyata bertahan hingga 16 tahun. "Awalnya, aku hanya ingin bereksperimen selama setahun. Tapi aku justru menemukan hidup baru," kata dia. "Dan, aku tak ingin kembali ke kehidupan lamaku."
Awalnya, Schwermer tinggal bersama seorang teman lama. Namun, saat gaya hidupnya menyebar dari mulut ke mulut, ia mulai berceramah soal misinya. Ia laris menjadi pembicara keliling.
Dalam pekerjaan barunya itu, ia hanya menerima tiket kereta api dari para pengundangnya, dan menolak setiap upaya lain untuk membayarnya. "Kebanyakan orang di usiaku memilih untuk duduk manis di kebunnya menikmati masa pensiun," kata dia. "Tapi aku senang jalan-jalan."
Ia juga melakukan pekerjaan di sekitar rumah tempatnya menginap, seperti berkebun, atau melap jendela, untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam dokumenter soal kehidupannya, yang bertajuk "Living Without Money", ia ditampilkan sedang mengumpulkan bahan makanan sisa yang tak terjual di pasar.
Schwermer juga sering menerima pakaian dari teman-temannya, pemberian yang ia sebut sebagai "keajaiban", alih-alih sumbangan. "Aku melihat banyak keajaiban dalam hidupku sehari-hari. Saat aku berpikir soal makanan atau barang lain, tiba-tiba aku menemukannya di jalan atau orang datang dan memberikannya padaku," kata dia.
Ia juga kerap menyumbangkan barang yang tak termuat di tas kecilnya -- yang ia bawa dari rumah ke rumah yang menerimanya menginap.
Meski tak punya rumah dan uang sama sekali, jangan sebut Schwermer gelandangan. "Anda tak bisa membandingkanku dengan tuna wisma. Mereka tidak disukai dan diundang menginap orang lain."
Ada banyak rumah yang membuka pintu lebar-lebar untuknya, namun ia tak pernah lama tinggal apalagi menetap. Jadwalnya tiap minggu padat berkeliling Eropa. "Aku pergi dari rumah ke rumah berbagi filosofi saya."
Bagaimana dengan pendapat keluarganya?
Tentu saja anak-anak dan teman-temannya awalnya keberatan dan menentang. Namun, pada akhirnya mereka terbiasa dengan gayanya yang datang dan pergi. Ia hanya sempat bertemu dua anak dan tiga cucunya sesekali dalam setahun. "Kini mereka bangga dengan apa yang kulakukan. Itu sudah cukup."
Schwermer memutuskan terus berusaha bertahan dengan pilihannya itu. Sebuah keputusan yang membuatnya merasa lebih berarti, tanpa takut kehilangan, tanpa rasa posesif terhadap materi.
Ada banyak rumah yang membuka pintu lebar-lebar untuknya, namun ia tak pernah lama tinggal apalagi menetap. Jadwalnya tiap minggu padat berkeliling Eropa. "Aku pergi dari rumah ke rumah berbagi filosofi saya."
Bagaimana dengan pendapat keluarganya?
Tentu saja anak-anak dan teman-temannya awalnya keberatan dan menentang. Namun, pada akhirnya mereka terbiasa dengan gayanya yang datang dan pergi. Ia hanya sempat bertemu dua anak dan tiga cucunya sesekali dalam setahun. "Kini mereka bangga dengan apa yang kulakukan. Itu sudah cukup."
Schwermer memutuskan terus berusaha bertahan dengan pilihannya itu. Sebuah keputusan yang membuatnya merasa lebih berarti, tanpa takut kehilangan, tanpa rasa posesif terhadap materi.
Sumber : VIVAnews
Baca Juga :
- Belasan Tahun, Seorang Nenek Hidup Tanpa Uang
- Keliling Dunia Gratis Ala Michael Wigge
- Turis Ini Keliling 11 Negara Tanpa Keluar Uang Sepeserpun